Implementasi Patient Safety
- Kajian Kasus Unsafe Injection di Unit Pelayanan Kesehatan Dasar -
1. Injection Safety di Pelayanan Kesehatan Dasar
Injeksi saat ini telah menjadi prosedur pengobatan yang paling umum ditemukan di dunia, 16 milyard injeksi diberikan setiap tahun (90% untuk terapi dan 10% untuk imunisasi). Sayangnya, injeksi yang diberikan tersebut seringkali tidak diperlukan dan kerapkali tidak aman1. Terdapat dua hal yang menjadi perhatian, yaitu penggunaan secara berlebihan dan alat injeksi tidak steril. Kondisi ini umum ditemukan baik di fasilitas pemerintah, swasta bahkan healer1.
Sementara itu, para pekerja kesehatan seringkali dihadapkan kepada tekanan pasien yang lebih menyukai injeksi ketimbang pengobatan lain,2,3,4,5,6,7,8. Disamping karena reputasi kemanjuran injeksi, petugas kesehatan juga bisa mengambil keuntungan dengan memperoleh bayaran tinggi dengan injeksi ketimbang tablet1, disamping kesetiaan pasiennya tentu saja.
Injeksi tidak aman dapat menjadi penyebab transmisi penyakit menular seperti HIV/AIDS, hepatitis B, malaria, dengue dan penyakit lain yang ditularkan melalui kontak darah lewat jarum suntik dari satu pasien ke pasien lain. Kerugian pemakaian diantaranya efek toksik sulit dinetralkan bila terjadi kesalahan, lebih mahal, infeksi, nyeri dan alergi (faktor : alat, obat, teknik tidak tepat)1,3,5,6,7,8,9,10,11. Pemakaian obat berlebihan baik dalam jenis maupun dosis akan meningkatkan resiko terjadinya efek samping8,10,11. Dampak psikososial muncul sebagai akibat masyarakat menjadi terlalu tergantung injeksi walaupun intervensi tersebut belum tentu merupakan pilihan utama, dan lebih parah bila intervensi yang semestinya kemudian ditinggalkan10. Konsekuensi lebih lanjut adalah meningkatnya biaya yang dibebankan kepada pasien maupun pemerintah. Pelayanan kesehatan menjadi tidak efisiensi dan mengakibatkan kekurangan dana berkelanjutan10,11 bahkan bisa menjadi salah satu penghambat bagi program lain 12.
7
Hasil survey WHO memperlihatkan 50% dari semua injeksi yang dilakukan di berbagai negara adalah tidak aman yang tidak hanya karena ketidaktahuan petugas kesehatan tetapi juga hambatan dan tekanan terhadap petugas kesehatan. Termasuk disini adalah tidak adanya peralatan dan stok yang memadai dan tekanan pasien yang menginginkan injeksi5.
2. Popularitas Injeksi dan Sisi Lain Penggobatan Injeksi
Telah ditemukan bukti adanya penggunaan injeksi berlebihan di berbagai negara termasuk Indonesia. Hasil studi juga memperlihatkan bahwa 51% pasien lebih memilih injeksi sebagai pengobatan. Sebanyak 60-70% pasien di Uganda memperoleh injeksi, sementara di Indonesia mencapai 70-90% (puskesmas).
Popularitas injeksi merupakan hasil kesuksesan pengobatan dan program eradikasi pada masa lalu. Fenomena “kecanduan suntik” diantara pasien dikarenakan : 1) meyakini khasiat dan kecepatan penyembuhan; 2) penyakit serius hanya suntik obatnya; 4) unsur penyembuh esensial11. Fakta injeksi menyebabkan rasa sakit hanya dilihat sebagai pelengkap dan tanda sembuh.
Dalam perspektif berbeda, popularitas injeksi tidak selalu merupakan sebuah ancaman. Kepercayaan terhadap bentuk pengobatan ini telah meningkatkan kesuksesan program imunisasi dan pengendalian penyakit menular, contoh vaksinasi campak. Tahun 1996, 240 juta orang memperoleh injeksi dalam pengendalian outbreak penyakit menular. Tanpa kepercayaan tersebut program tidak akan dapat sukses9. Yang lebih penting adalah kenyataan bahwa daya tarik injeksi memainkan peran dalam menarik orang datang ke pelayanan kesehatan yang akhirnya akan memperoleh informasi kesehatan.
Petugas kesehatan di puskesmas seringkali dihadapkan dengan tekanan pasien. Petugas meyakini bahwa injeksi mendorong pasien untuk kembali ke pelayanan kesehatan dan berkontribusi kepada income1. Petugas kesehatan ”terpaksa” memberikan karena jika ditolak maka akan merusak reputasi dan akan mendorong pasien mencari pengobatan di tempat lain11. Di sisi lain, sebagian petugas juga sangat meyakini kemampuan injeksi sebagai pengobatan yang cepat, efektif dan manjur11. Alasan utama bahwa injeksi langsung berhubungan dengan darah dan segera mencapai sasaran.
Status sosial petugas kesehatan dan sebagai representasi tradisi pengobatan medis juga menjadi alasan penting pemberian injeksi. Obat oral bisa dibeli di warung, namun tidak untuk injeksi. Injeksi dijadikan sebagai alat untuk membedakan diri dengan ”orang awam”. Melalui injeksi, jaminan kepatuhan bisa lebih terjaga karena langsung diawasi petugas. Alasan terakhir, petugas merasa yakin bahwa suntikan harus diberikan karena itulah harapan pasiennya11.
3. Dukungan dan Penolakan Pasien Terhadap Pengobatan Suntik
Penelitian yang dilakukan terhadap masyarakat yang pernah menjalani pengobatan primer memperlihatkan bahwa antara 70% - 90% diantara pasien memperoleh suntikan dalam pengobatannya,13. Meskipun keinginan kuat masyarakat untuk memperoleh pengobatan suntik di unit pelayanan kesehatan primer masih cukup besar (47,3%), namun telah tumbuh kesadaran bahwa pengobatan suntikan bukanlah satu-satunya jenis pengobatan yang dinilai paling manjur. Salah satu ungkapan menarik oleh informan yang menggambarkan pengobatan suntik sebagai berikut
”... mengapa kalau di Behesda (Rumah sakit Bethesda) jika memang suntik lebih manjur, tetapi disana tidak pernah ada istilah disuntik, hanya diberikan obat (pil), tetapi kok ya sembuh juga...”
Meskipun tidak seluruh pasien menginginkan suntik tetapi ternyata 70%-90% responden memperoleh suntik, bahkan dari beberapa penelitian di daerah pedesaan pengobatan di praktek swasta (dokter maupun selain dokter) hampir 100% pasiennya memperoleh suntik. Separo pasien menyatakan memperoleh penawaran suntik dari petugas (dokter maupun selain dokter), yang mengindikasikan inisiasi provider dalam pengobatan suntik. Ditemukan pula anggota masyarakat yang menolak pemberian suntik dengan alasan menyakitkan / menakutkan.
Masyarakat umumnya setuju bahwa suntik tidak diperuntukkan bagi semua penyakit, demikian pula dengan penilaian penggunaan suntik di saat sehat. Hasil penelitian yang cukup menarik dan memberikan harapan besar terhadap injeksi aman adalah bahwa masyarakat menolak jarum suntik yang digunakan lebih dari satu kali.
”… saya itu minta suntiknya suntik yang baru …itu tadi karena pernah mengalami trauma suntik itu suntik bekas orang … ”
Masyarakat yang tetap menginginkan suntik di setiap pengobatan masih tetap menonjol, alasan utama dari kelompok ini adalah karena : 1) menyebabkan badan lebih enteng; 2) pil untuk mencegah, suntik sebagai penyembuhnya; 3) langsung mengenai penyakit dibanding obat lain; 4) suntik lebih manjur.
“…….bar suntik niku gek terus enteng…” (setelah suntik badan terasa enteng)
“…… Namung nggih nyegah kok pil niku…” (pil hanya untuk mencegah)
“……. pil nggak cepat mengena penyakit” (pil tidak cepat mengenai penyakitnya)
“…… Nek namung pil tok mboten mari …….” (kalau hanya pil tidak akan sembuh)
Popularitas suntik nampaknya telah mulai berkurang gemanya di masyarakat bahkan di pedesaan. Telah mulai tumbuh sikap kritis masyarakat atas pengobatan suntik, demikian juga telah terjadi perbaikan di pelayanan kesehatan pemerintah.
4. Pengaruh Lingkungan
Bagaimana penilaian masyarakat terhadap lingkungan mereka?, masyarakat ternyata menilai bahwa pengobatan suntik masih cukup populer. Keinginan besar tersebut didorong oleh alasan kepuasan dan kecocokan serta perasaan lebih mantap dengan pengobatan suntik khususnya untuk usia lanjut.
Berbeda dengan penilaian terhadap lingkungannya, masyarakat menilai bahwa peraturan kesehatan dan petugas kesehatan tidak mengharuskan memberikan suntik dalam setiap pengobatannya. Hasil ini memberikan gambaran tumbuhnya pemahaman baru mengenai pengobatan oleh petugas di mata masyarakat yang makin positif.
5. Permintaan Suntik
Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami permasalahan terkait praktek unsafe injection. Berbagai faktor ikut berpengaruh salah satunya adalah tekanan pasien dalam bentuk permintaan suntik. Penolakan permintaan seringkali diartikan akan menyebabkan ketidakpuasan yang berdampak kepada kehilangan pelanggan dan mereka akan ”lari” memilih provider yang ”mudah” memberikan suntik.
Masyarakat yang menginginkan suntik menganggap permintaan akan memberikan konsekuensi menguntungkan. Anggapan tersebut terkait dengan : 1) meminta adalah hak pasien; 2) puskesmas tidak memberi bila tidak diminta; 3) meminta suntik menguntungkan pasien; 4) meminta suntik untuk mengingatkan dokter; 5) menolak obat selain suntik adalah hak pasien; 6) tidak meminta tidak diberi; 7) dokter tidak mengetahui keinginan pasien.
Petugas puskesmas hanya akan memberi suntik apabila diminta, ini merupakan indikasi permintaan dan upaya petugas untuk tidak memberikan penawaran suntik kepada pasien sehingga pengobatan suntik dinilai mulai sulit diperoleh. Sebagai alternatifnya, praktek swasta. Di praktek swasta permintaan lebih mudah dikabulkan bahkan tanpa perlu meminta, setiap saat pasti disuntik.
”..Nek person niku sak wanci-wancine disuntik..” (kalau praktek perorangan setiap saat disuntik)
Praktek swasta telah menjadi pilihan pasien yang menginginkan kemudahan dalam memperoleh suntik. Beberapa penelitian juga memperlihatkan besarnya peran praktisi swasta dalam menyalurkan ”keinginan suntik” pasien tersebut 1, 11, 12. Tidak semua provider mampu menerapkan upaya injection safety dan menolak keinginan pasien. Provider seringkali, sebagaimana diungkapkan pasien, justru menawarkan terlebih dahulu atau memberikan ”service” suntikan.
”…Sok-sok nggih ditari suntik mboten, nggih suntik pak, la sok ditari…”
(kadang ditawari... ”suntik tidak” ... ya suntik pak ... karena ditawari...)
Meminta suntik saat berobat dinilai oleh sebagian besar masyarakat sebagai tidak sesuai aturan kesehatan, meskipun permintaan bisa berfungsi mengingatkan dokter agar tidak lupa memberikan suntik. Mengajukan permintaan merupakan hak pasien meskipun penolakan oleh provider tidak seluruhnya diterjemahkan sebagai pelanggaran hak pasien. Penolakan ini diterima sebagai alasan medis yang masuk akal oleh pasien ketika komunikasi berjalan baik, namun pada umumnya penolakan tidak disertai dengan penjelasan yang memadai mengingat ”keterbatasan” waktu petugas kesehatan.
Konsekuensi penolakan permintaan suntik oleh sebagian pasien (21,4%) akan dianggap sebagai pelayanan yang kurang berkualitas / kurang baik dan akan menyebabkan beralih kepada provider lain yang lebih ”murah hati” memberikan suntik. Konsekuensi lain adalah ”kemarahan” langsung pasien, umumnya dari kelompok usia lanjut. Meskipun demikian lebih dari 90% pasien mempercayai apa yang menjadi pilihan terbaik petugas kesehatan adalah terbaik untuk pasien.
6. Kesimpulan
a. Pengobatan melalui suntik masih cukup populer. Masih cukup banyak masyarakat yang menignginkannnya dengan berbagai cara misalnya mengajukan permintaan atau dengan berpindah-pindah provider. Pengobatan suntik telah menjadi komoditas jasa dan daya tarik konsumer.
b. Penawaran suntik seringkali justru seringkali disampaikan provider meskipun memiliki alternatif dengan pengobatan lainnya. Telah mulai tumbuh pemahaman baru bahwa pengobatan suntik bukan satu-satunya pengobatan terbaik, demikian pula dengan buruknya pemakaian suntik bekas.
c. Permintaan suntik oleh pasien masih banyak ditemukan, meskipun dinilai sebagai sesuatu yang tidak sesuai aturan. Permintaan adalah hak, namun penolakan oleh provider diyakini tidak akan berdampak buruk bagi pasien.
d. Praktek swasta memainkan peran penting dalam menyuburkan popularitas injeksi. Praktek-praktek injeksi tidak aman (berlebih) juga ditemukan pada sebagian petugas di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah, meskipun sebagian besar telah mulai mengupayakan injection safety.
KEPUSTAKAAN
1. Parris, M.T., 2003, Why Injection Safety, available on : http://wbln0018.worldbank.org/, (Download 12 Februari 2006, 16.00)
2. Batersby, A., Feilden, R., Nelson, C., 1999, Sterilizable Syringes : Excessive Risk or Cost-Effective option, Bulletin WHO, 77(10); 812-819.
3. Hutin, Y.J.F., Harpaz, R., Drobenius, J., Melnic, A., Ray, C., Favorov, M., Iarovoi, P., Shapiro, C.N., Woodruff, B.A., 1999, Injection Given in Healthcare Settings as a Major Source of Acute Hepatitis B in Moldova, Int.J. Epidemiology, 28;782-786.
4. Batersby, A., Feilden, R., Stoeckel, P., Da Silva, A., Nelson, C., Bass, A., 1999, Strategies for safe injections, Bulletin of the WHO, 77(10); 996-999.
5. Simonsen, L., Kane, A., Lloyd, J., Zalfran, M., Kane, M., 1999, Unsafe Injection in the Developing World and Transmission of Blooddborne Pathogens : a Review, Bulletin of the WHO, 77(10); 789-798.
6. Kane, M., 1998, Country-specific hepatitis B carrier rates by world countries and region. Bulletin of the WHO, WHO, Geneva.
7. Wyat, H., 1984, The Popularity of Injections in the Third World : Origines and Consequences for Polimyelitis, Soc. Sci. Med. XIX (9) : 911-915.
8. Anief, M., 1995, Perjalanan & Nasib Obat Badan, Gadjahmada Press, Jogja.
10. Budiono, S.J.E.P, 2000, Pengobatan Rasional dan Masalah-masalah dalam Penggunaan Obat, Makalah dalam Pelatihan Rasionalisasi Obat Kabupaten Gunungkidul, Dinas Kesehatan Kabupaten, Gunungkidul : 10-13 Juli.
11. Sciortino, R., 1999, Menuju Kesehatan Madani, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
12. Prabamurti, P.N., 1999. Kegagalan Program JPKMKUD,Tesis, UGM, Yogyakarta.
13. Isack, W.I., 2004, Evaluasi pelatihan komunikasi terapeutik,Tesis,UGM
- Kajian Kasus Unsafe Injection di Unit Pelayanan Kesehatan Dasar -
1. Injection Safety di Pelayanan Kesehatan Dasar
Injeksi saat ini telah menjadi prosedur pengobatan yang paling umum ditemukan di dunia, 16 milyard injeksi diberikan setiap tahun (90% untuk terapi dan 10% untuk imunisasi). Sayangnya, injeksi yang diberikan tersebut seringkali tidak diperlukan dan kerapkali tidak aman1. Terdapat dua hal yang menjadi perhatian, yaitu penggunaan secara berlebihan dan alat injeksi tidak steril. Kondisi ini umum ditemukan baik di fasilitas pemerintah, swasta bahkan healer1.
Sementara itu, para pekerja kesehatan seringkali dihadapkan kepada tekanan pasien yang lebih menyukai injeksi ketimbang pengobatan lain,2,3,4,5,6,7,8. Disamping karena reputasi kemanjuran injeksi, petugas kesehatan juga bisa mengambil keuntungan dengan memperoleh bayaran tinggi dengan injeksi ketimbang tablet1, disamping kesetiaan pasiennya tentu saja.
Injeksi tidak aman dapat menjadi penyebab transmisi penyakit menular seperti HIV/AIDS, hepatitis B, malaria, dengue dan penyakit lain yang ditularkan melalui kontak darah lewat jarum suntik dari satu pasien ke pasien lain. Kerugian pemakaian diantaranya efek toksik sulit dinetralkan bila terjadi kesalahan, lebih mahal, infeksi, nyeri dan alergi (faktor : alat, obat, teknik tidak tepat)1,3,5,6,7,8,9,10,11. Pemakaian obat berlebihan baik dalam jenis maupun dosis akan meningkatkan resiko terjadinya efek samping8,10,11. Dampak psikososial muncul sebagai akibat masyarakat menjadi terlalu tergantung injeksi walaupun intervensi tersebut belum tentu merupakan pilihan utama, dan lebih parah bila intervensi yang semestinya kemudian ditinggalkan10. Konsekuensi lebih lanjut adalah meningkatnya biaya yang dibebankan kepada pasien maupun pemerintah. Pelayanan kesehatan menjadi tidak efisiensi dan mengakibatkan kekurangan dana berkelanjutan10,11 bahkan bisa menjadi salah satu penghambat bagi program lain 12.
7
Hasil survey WHO memperlihatkan 50% dari semua injeksi yang dilakukan di berbagai negara adalah tidak aman yang tidak hanya karena ketidaktahuan petugas kesehatan tetapi juga hambatan dan tekanan terhadap petugas kesehatan. Termasuk disini adalah tidak adanya peralatan dan stok yang memadai dan tekanan pasien yang menginginkan injeksi5.
2. Popularitas Injeksi dan Sisi Lain Penggobatan Injeksi
Telah ditemukan bukti adanya penggunaan injeksi berlebihan di berbagai negara termasuk Indonesia. Hasil studi juga memperlihatkan bahwa 51% pasien lebih memilih injeksi sebagai pengobatan. Sebanyak 60-70% pasien di Uganda memperoleh injeksi, sementara di Indonesia mencapai 70-90% (puskesmas).
Popularitas injeksi merupakan hasil kesuksesan pengobatan dan program eradikasi pada masa lalu. Fenomena “kecanduan suntik” diantara pasien dikarenakan : 1) meyakini khasiat dan kecepatan penyembuhan; 2) penyakit serius hanya suntik obatnya; 4) unsur penyembuh esensial11. Fakta injeksi menyebabkan rasa sakit hanya dilihat sebagai pelengkap dan tanda sembuh.
Dalam perspektif berbeda, popularitas injeksi tidak selalu merupakan sebuah ancaman. Kepercayaan terhadap bentuk pengobatan ini telah meningkatkan kesuksesan program imunisasi dan pengendalian penyakit menular, contoh vaksinasi campak. Tahun 1996, 240 juta orang memperoleh injeksi dalam pengendalian outbreak penyakit menular. Tanpa kepercayaan tersebut program tidak akan dapat sukses9. Yang lebih penting adalah kenyataan bahwa daya tarik injeksi memainkan peran dalam menarik orang datang ke pelayanan kesehatan yang akhirnya akan memperoleh informasi kesehatan.
Petugas kesehatan di puskesmas seringkali dihadapkan dengan tekanan pasien. Petugas meyakini bahwa injeksi mendorong pasien untuk kembali ke pelayanan kesehatan dan berkontribusi kepada income1. Petugas kesehatan ”terpaksa” memberikan karena jika ditolak maka akan merusak reputasi dan akan mendorong pasien mencari pengobatan di tempat lain11. Di sisi lain, sebagian petugas juga sangat meyakini kemampuan injeksi sebagai pengobatan yang cepat, efektif dan manjur11. Alasan utama bahwa injeksi langsung berhubungan dengan darah dan segera mencapai sasaran.
Status sosial petugas kesehatan dan sebagai representasi tradisi pengobatan medis juga menjadi alasan penting pemberian injeksi. Obat oral bisa dibeli di warung, namun tidak untuk injeksi. Injeksi dijadikan sebagai alat untuk membedakan diri dengan ”orang awam”. Melalui injeksi, jaminan kepatuhan bisa lebih terjaga karena langsung diawasi petugas. Alasan terakhir, petugas merasa yakin bahwa suntikan harus diberikan karena itulah harapan pasiennya11.
3. Dukungan dan Penolakan Pasien Terhadap Pengobatan Suntik
Penelitian yang dilakukan terhadap masyarakat yang pernah menjalani pengobatan primer memperlihatkan bahwa antara 70% - 90% diantara pasien memperoleh suntikan dalam pengobatannya,13. Meskipun keinginan kuat masyarakat untuk memperoleh pengobatan suntik di unit pelayanan kesehatan primer masih cukup besar (47,3%), namun telah tumbuh kesadaran bahwa pengobatan suntikan bukanlah satu-satunya jenis pengobatan yang dinilai paling manjur. Salah satu ungkapan menarik oleh informan yang menggambarkan pengobatan suntik sebagai berikut
”... mengapa kalau di Behesda (Rumah sakit Bethesda) jika memang suntik lebih manjur, tetapi disana tidak pernah ada istilah disuntik, hanya diberikan obat (pil), tetapi kok ya sembuh juga...”
Meskipun tidak seluruh pasien menginginkan suntik tetapi ternyata 70%-90% responden memperoleh suntik, bahkan dari beberapa penelitian di daerah pedesaan pengobatan di praktek swasta (dokter maupun selain dokter) hampir 100% pasiennya memperoleh suntik. Separo pasien menyatakan memperoleh penawaran suntik dari petugas (dokter maupun selain dokter), yang mengindikasikan inisiasi provider dalam pengobatan suntik. Ditemukan pula anggota masyarakat yang menolak pemberian suntik dengan alasan menyakitkan / menakutkan.
Masyarakat umumnya setuju bahwa suntik tidak diperuntukkan bagi semua penyakit, demikian pula dengan penilaian penggunaan suntik di saat sehat. Hasil penelitian yang cukup menarik dan memberikan harapan besar terhadap injeksi aman adalah bahwa masyarakat menolak jarum suntik yang digunakan lebih dari satu kali.
”… saya itu minta suntiknya suntik yang baru …itu tadi karena pernah mengalami trauma suntik itu suntik bekas orang … ”
Masyarakat yang tetap menginginkan suntik di setiap pengobatan masih tetap menonjol, alasan utama dari kelompok ini adalah karena : 1) menyebabkan badan lebih enteng; 2) pil untuk mencegah, suntik sebagai penyembuhnya; 3) langsung mengenai penyakit dibanding obat lain; 4) suntik lebih manjur.
“…….bar suntik niku gek terus enteng…” (setelah suntik badan terasa enteng)
“…… Namung nggih nyegah kok pil niku…” (pil hanya untuk mencegah)
“……. pil nggak cepat mengena penyakit” (pil tidak cepat mengenai penyakitnya)
“…… Nek namung pil tok mboten mari …….” (kalau hanya pil tidak akan sembuh)
Popularitas suntik nampaknya telah mulai berkurang gemanya di masyarakat bahkan di pedesaan. Telah mulai tumbuh sikap kritis masyarakat atas pengobatan suntik, demikian juga telah terjadi perbaikan di pelayanan kesehatan pemerintah.
4. Pengaruh Lingkungan
Bagaimana penilaian masyarakat terhadap lingkungan mereka?, masyarakat ternyata menilai bahwa pengobatan suntik masih cukup populer. Keinginan besar tersebut didorong oleh alasan kepuasan dan kecocokan serta perasaan lebih mantap dengan pengobatan suntik khususnya untuk usia lanjut.
Berbeda dengan penilaian terhadap lingkungannya, masyarakat menilai bahwa peraturan kesehatan dan petugas kesehatan tidak mengharuskan memberikan suntik dalam setiap pengobatannya. Hasil ini memberikan gambaran tumbuhnya pemahaman baru mengenai pengobatan oleh petugas di mata masyarakat yang makin positif.
5. Permintaan Suntik
Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami permasalahan terkait praktek unsafe injection. Berbagai faktor ikut berpengaruh salah satunya adalah tekanan pasien dalam bentuk permintaan suntik. Penolakan permintaan seringkali diartikan akan menyebabkan ketidakpuasan yang berdampak kepada kehilangan pelanggan dan mereka akan ”lari” memilih provider yang ”mudah” memberikan suntik.
Masyarakat yang menginginkan suntik menganggap permintaan akan memberikan konsekuensi menguntungkan. Anggapan tersebut terkait dengan : 1) meminta adalah hak pasien; 2) puskesmas tidak memberi bila tidak diminta; 3) meminta suntik menguntungkan pasien; 4) meminta suntik untuk mengingatkan dokter; 5) menolak obat selain suntik adalah hak pasien; 6) tidak meminta tidak diberi; 7) dokter tidak mengetahui keinginan pasien.
Petugas puskesmas hanya akan memberi suntik apabila diminta, ini merupakan indikasi permintaan dan upaya petugas untuk tidak memberikan penawaran suntik kepada pasien sehingga pengobatan suntik dinilai mulai sulit diperoleh. Sebagai alternatifnya, praktek swasta. Di praktek swasta permintaan lebih mudah dikabulkan bahkan tanpa perlu meminta, setiap saat pasti disuntik.
”..Nek person niku sak wanci-wancine disuntik..” (kalau praktek perorangan setiap saat disuntik)
Praktek swasta telah menjadi pilihan pasien yang menginginkan kemudahan dalam memperoleh suntik. Beberapa penelitian juga memperlihatkan besarnya peran praktisi swasta dalam menyalurkan ”keinginan suntik” pasien tersebut 1, 11, 12. Tidak semua provider mampu menerapkan upaya injection safety dan menolak keinginan pasien. Provider seringkali, sebagaimana diungkapkan pasien, justru menawarkan terlebih dahulu atau memberikan ”service” suntikan.
”…Sok-sok nggih ditari suntik mboten, nggih suntik pak, la sok ditari…”
(kadang ditawari... ”suntik tidak” ... ya suntik pak ... karena ditawari...)
Meminta suntik saat berobat dinilai oleh sebagian besar masyarakat sebagai tidak sesuai aturan kesehatan, meskipun permintaan bisa berfungsi mengingatkan dokter agar tidak lupa memberikan suntik. Mengajukan permintaan merupakan hak pasien meskipun penolakan oleh provider tidak seluruhnya diterjemahkan sebagai pelanggaran hak pasien. Penolakan ini diterima sebagai alasan medis yang masuk akal oleh pasien ketika komunikasi berjalan baik, namun pada umumnya penolakan tidak disertai dengan penjelasan yang memadai mengingat ”keterbatasan” waktu petugas kesehatan.
Konsekuensi penolakan permintaan suntik oleh sebagian pasien (21,4%) akan dianggap sebagai pelayanan yang kurang berkualitas / kurang baik dan akan menyebabkan beralih kepada provider lain yang lebih ”murah hati” memberikan suntik. Konsekuensi lain adalah ”kemarahan” langsung pasien, umumnya dari kelompok usia lanjut. Meskipun demikian lebih dari 90% pasien mempercayai apa yang menjadi pilihan terbaik petugas kesehatan adalah terbaik untuk pasien.
6. Kesimpulan
a. Pengobatan melalui suntik masih cukup populer. Masih cukup banyak masyarakat yang menignginkannnya dengan berbagai cara misalnya mengajukan permintaan atau dengan berpindah-pindah provider. Pengobatan suntik telah menjadi komoditas jasa dan daya tarik konsumer.
b. Penawaran suntik seringkali justru seringkali disampaikan provider meskipun memiliki alternatif dengan pengobatan lainnya. Telah mulai tumbuh pemahaman baru bahwa pengobatan suntik bukan satu-satunya pengobatan terbaik, demikian pula dengan buruknya pemakaian suntik bekas.
c. Permintaan suntik oleh pasien masih banyak ditemukan, meskipun dinilai sebagai sesuatu yang tidak sesuai aturan. Permintaan adalah hak, namun penolakan oleh provider diyakini tidak akan berdampak buruk bagi pasien.
d. Praktek swasta memainkan peran penting dalam menyuburkan popularitas injeksi. Praktek-praktek injeksi tidak aman (berlebih) juga ditemukan pada sebagian petugas di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah, meskipun sebagian besar telah mulai mengupayakan injection safety.
KEPUSTAKAAN
1. Parris, M.T., 2003, Why Injection Safety, available on : http://wbln0018.worldbank.org/, (Download 12 Februari 2006, 16.00)
2. Batersby, A., Feilden, R., Nelson, C., 1999, Sterilizable Syringes : Excessive Risk or Cost-Effective option, Bulletin WHO, 77(10); 812-819.
3. Hutin, Y.J.F., Harpaz, R., Drobenius, J., Melnic, A., Ray, C., Favorov, M., Iarovoi, P., Shapiro, C.N., Woodruff, B.A., 1999, Injection Given in Healthcare Settings as a Major Source of Acute Hepatitis B in Moldova, Int.J. Epidemiology, 28;782-786.
4. Batersby, A., Feilden, R., Stoeckel, P., Da Silva, A., Nelson, C., Bass, A., 1999, Strategies for safe injections, Bulletin of the WHO, 77(10); 996-999.
5. Simonsen, L., Kane, A., Lloyd, J., Zalfran, M., Kane, M., 1999, Unsafe Injection in the Developing World and Transmission of Blooddborne Pathogens : a Review, Bulletin of the WHO, 77(10); 789-798.
6. Kane, M., 1998, Country-specific hepatitis B carrier rates by world countries and region. Bulletin of the WHO, WHO, Geneva.
7. Wyat, H., 1984, The Popularity of Injections in the Third World : Origines and Consequences for Polimyelitis, Soc. Sci. Med. XIX (9) : 911-915.
8. Anief, M., 1995, Perjalanan & Nasib Obat Badan, Gadjahmada Press, Jogja.
10. Budiono, S.J.E.P, 2000, Pengobatan Rasional dan Masalah-masalah dalam Penggunaan Obat, Makalah dalam Pelatihan Rasionalisasi Obat Kabupaten Gunungkidul, Dinas Kesehatan Kabupaten, Gunungkidul : 10-13 Juli.
11. Sciortino, R., 1999, Menuju Kesehatan Madani, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
12. Prabamurti, P.N., 1999. Kegagalan Program JPKMKUD,Tesis, UGM, Yogyakarta.
13. Isack, W.I., 2004, Evaluasi pelatihan komunikasi terapeutik,Tesis,UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar